tiga

“Arsa?”

Terkejut namanya dipanggil, Arsa menoleh ke belakang, mencari dari mana suara itu berasal. Wajah familier pria berambut pirang menyapanya dengan seulas senyum, membuat Arsa tanpa sadar ikut menaikkan ujung bibirnya.

“Sendirian aja?”

Arsa mengedikkan bahunya, tak tahu harus menjawab apa.

“Bareng aja sini, gue juga sendirian, kok.”

Ragu, Arsa menggigit bibir bawahnya, namun pria yang dikenalnya dengan sebutan Gi itu telah menggeser gelasnya, seolah menyediakan ruang untuk Arsa. Perlahan, Arsa berjalan mendekat, meletakkan tasnya di kursi di hadapan Gi.

“Gue cari makan dulu ya,” Arsa tersenyum kecil, tidak menunggu balasan Gi sebelum berbalik badan dan membaur dengan kerumunan. Jantungnya berdegup kencang, tidak menyangka akan bertemu pria itu lagi, terlebih di area kampus.

Ia masih tidak mengerti mengapa Gi begitu ramah padanya. Di benaknya, orang seperti Gi tidak selayaknya bergaul dengan orang sepertinya. Mungkin demikian pula yang dipikir oleh teman Gi yang ia jumpai kala di toko buku beberapa minggu silam.

Arsa maju ke depan barisan, memesan makanannya dengan cepat sebelum pikirannya bisa berlari semakin jauh. Pandangannya mengabur sembari menunggu pesanannya, mengingat tatapan sinis lelaki itu, seolah ingin berkata Arsa tidak pantas bahkan untuk berbicara dengan Gi. Dalam hati ia membela diri, bukan dirinya lah yang dengan sengaja memulai pembicaraan.

“Mie pangsit tanpa sawi ya kak?” suara itu membuyarkan pikiran Arsa. Seketika ia mengangguk, mengambil nampan di hadapannya dan berjalan kembali menuju meja tadi.

Dari kejauhan, rambut pirang Gi menarik perhatian. Arsa menelan ludah, menarik napas dalam-dalam berharap degup jantungnya mereda. Tidak ada alasan baginya untuk gugup.

“Mesen apa?” Gi mendongak, bibir mungilnya yang berpulas minyak sedikit terbuka.

“Mie,” ujar Arsa singkat sembari meletakkan nampannya di meja.

“Gue Gian, btw,” celetuk Gian ketika Arsa tengah membuka plastik sumpitnya. “Kayaknya kita ga pernah kenalan.”

Sekonyong-konyong Arsa menyadari sesuatu. Dahinya mengerinyit, tangannya berhenti bergerak. “Lo... tau nama gue dari mana?”

Gian mengalihkan pandangannya sambil terkekeh pelan, membasahi bibirnya. “Itu... kayaknya temen gue kenal lo? Evan William, tau ga?”

Arsa menggeleng pelan. “Gue ga kenal banyak orang.” Dan yang pasti, nama itu terdengar asing di telinganya.

“Oh?” Mata Gian terbelalak. “Gue kira... never mind. Ga penting juga,” ia mengibaskan tangannya. “Makan, makan.”

Sulit bagi Arsa untuk menelan makan siangnya ketika ia bisa merasakan pandangan Gian yang begitu lekat, mengamatinya seolah tengah berpikir. Tiap kali mata mereka bertemu, Gian selalu membuang pandang, berpura-pura sibuk dengan telepon genggamnya. Alhasil, Arsa selalu dihadapkan dengan tampak samping wajah Gian, dan tanpa sadar ia berujar pelan, “Kayak bakpao.”

“Hah?”

Wajah Arsa memanas karena malu, jantungnya lagi-lagi berdegup di telinganya. “Engga, engga,” ia menggelengkan kepalanya dengan cepat, berharap Gian tidak mendengar ucapannya tadi. Ingin rasanya ia menampar wajahnya sendiri. Mungkin inilah mengapa ia tidak punya teman.

“Lo mau bakpao?” Gian menaikkan alisnya. Arsa hampir tersedak.

“Iya kayaknya, abis ini,” kilahnya.

Gian termanggut-manggut. “Iya, gih. Makan yang banyak.”

Arsa menghela napas lega, melanjutkan makannya yang terlalu sering terhenti. Sekali-kali ia mencuri pandang, namun kali ini Gian menyibukkan diri dengan ponselnya.

“Lo selalu makan sendiri?” tanya Gian lagi. Kenapa orang ini bertanya terus? batin Arsa. Bukannya ia tidak suka, hanya saja ia tidak terbiasa. Tidak ada yang menarik yang bisa diketahui tentang dirinya. Bahkan, ia rasa orang-orang berpikir semakin sedikit mereka tahu tentang Arsa, semakin baik. Aneh.

Arsa mengangguk, mulutnya tak berhenti mengunyah.

Next time ajak gue aja. Siapa tau gue lagi kosong juga.”

Sebelum Arsa sempat bertanya bagaimana, Gian sudah menyodorkan ponselnya, halaman kontak baru terpampang di layar.

“Nih, masukin aja nomor lo.”