dua

Untuk seseorang yang bahkan tidak suka membaca, Arsa tergolong sering mengunjungi toko buku. Hampir setiap minggu, bahkan, menemani sang kakak yang selalu mencari buku baru untuk dibaca, baik itu untuk bahan kuliah atau sekedar hiburan. Bagaimana Raihan melepas penat dengan menambah beban pikiran, rasanya Arsa tidak akan pernah paham. Arsa sendiri sulit untuk menahan kantuk dan sakit kepala begitu melihat untaian kata di depan mata.

Membaca memang jauh dari aktivitas kesukaan Arsa, namun mengunjungi toko buku memiliki daya tariknya sendiri. Waktu masih duduk di bangku SMP, ia sering bersandiwara seolah ia tengah berada di sebuah labirin, namun imajinasinya hancur begitu ia menginjak usia puber dan badannya meninggi dengan cepat hingga akhirnya melampaui rak di sekitarnya. Kini, ia menghabiskan waktunya di bagian komik dan alat tulis, sesekali mampir ke bagian alat musik.

Hanya saja toko buku yang ini sedikit berbeda. Raihan jarang mengajaknya kemari karena memang harganya yang tidak bisa dibilang murah, namun Arsa pribadi cukup puas meski hanya melihat-lihat. Sudah hampir setengah jam ia berjalan menyusuri lorong kecil bertuliskan Design & Arts, sesekali membuka-buka buku yang tidak berplastik.

Ia tengah mengamati deretan buku di hadapannya ketika matanya menangkap sosok pria yang berdiri tak jauh darinya, matanya terpaku pada Arsa seolah ingin mengatakan sesuatu.

“Oh, sori,” senyum Arsa sembari melangkah mundur, mengira dirinya menghalangi jalan.

Namun laki-laki itu tidak bergeming. Bibirnya yang mungil sedikit terbuka, matanya berkedip cepat seolah kebingungan. Arsa tersenyum kecil sebelum membalikkan badan dan kembali mengalihkan perhatiannya pada buku yang tadi ia amati.

“Lo anak kampus A, kan?”

Arsa menoleh ke belakang. Nampaknya suara berat itu merupakan milik lelaki tadi. Sekonyong-konyong lelaki itu membuang pandangannya, tak berani menatap langsung mata Arsa.

“Kita... pernah ketemu?” Arsa balas bertanya. Dahinya mengerinyit, mencoba mengingat di mana ia pernah melihat wajah lelaki itu.

“Ah, engga,” ucap lelaki itu malu-malu. “Kayak pernah liat aja.”

Tak tahu ke mana arah pembicaraan ini, Arsa hanya tersenyum simpul. Rasanya tidak sopan meninggalkan begitu saja lelaki di hadapannya, namun di sisi lain ia merasa canggung berdiri di sini. Untungnya, laki-laki itu bersuara lagi.

“Angkatan berapa?”

“Hah?”

“Lo... angkatan berapa?” ulang lelaki itu.

“Dua satu.”

“Oh,” mata lelaki itu membelalak. “Muda juga, ya,” gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Lagi-lagi Arsa tak tahu harus berkata apa. “Jurusan?”

“Fotografi,” jawab Arsa singkat. Sudah cukup lama semenjak ia berkenalan dengan orang baru. Tepatnya sejak bulan keduanya sebagai mahasiswa. Entah mengapa, puluhan orang yang dahulu bersikeras meminta kontaknya dan makan siang dengannya tiba-tiba menghilang begitu saja. Dari dulu, selalu saja begitu pada akhirnya.

Tak apa, toh Arsa lebih nyaman sendiri.

Laki-laki itu melirik ke arah buku-buku di belakangnya dan tersenyum. “Pantes. Lagi nyari bahan referensi?”

Arsa menggelengkan kepalanya pelan. “Engga, cuma—”

“Woi, Gi.”

Keduanya menolehkan pandangan mereka ke asal suara itu. Dari balik rak timbul sebuah tangan mungil yang meraih baju Gi, tiga buah tas belanja menggantung di lengannya.

“Lagi liat a— Oh.”

Meskipun sama-sama orang tak dikenal, entah mengapa Arsa merasa lebih gugup di hadapan lelaki ini dibandingkan dengan orang yang dipanggilnya “Gi” tadi. Mungkin karena pandangannya yang dingin dan terkesan menggurui, matanya memindai dari ujung rambut hingga ujung kaki Arsa entah sadar atau tidak. Di hadapannya, Arsa menciut, merasa kecil meskipun jelas-jelas lelaki itu tak sampai setinggi hidungnya. Untuk menatap matanya saja ia harus mendongak.

Arsa dapat merasakan ketika keberadaannya tidak diinginkan, dan lelaki ini jelas-jelas tidak begitu senang melihat Arsa di sini. Alisnya bertaut, ujung bibirnya melengkung ke bawah, bahasa tubuhnya tidak sedikit pun menunjukkan niat untuk menyapa Arsa.

Arsa tahu ia harus segera pergi dari sini.

“Duluan ya, takut dicariin,” pamitnya ditujukan pada Gi, tak berani menatap lelaki di sebelahnya. Tanpa menunggu jawaban, Arsa melenggang pergi, berharap ia tidak terkesan ketus. Jantungnya berdegup kencang, punggungnya terasa panas. Rasanya ia seperti anak kecil lagi, kebingungan mencari kakaknya.

Dari kejauhan, Arsa sayup-sayup mendengar suara berat itu lagi. “Apaan sih, Van?”

Langkahnya terhenti. Ia pikir ia mendengar namanya disebut.

Pasti hanya perasaan.