satu
Keberadaan sosok tak dikenal di atap gedung membuat Gian enggan melangsungkan niatnya. Kotak rokok di genggamannya ia masukkan kembali ke saku belakang celananya sembari ia berbalik untuk menuruni tangga. Bukan karena takut—meskipun memang celetukan usil Dirga membuat bulu kuduknya berdiri—ia hanya sedang ingin sendiri. Sengaja ia berjalan jauh kemari karena tidak banyak orang yang mengetahui keberadaan tempat ini. Ia sendiri menemukannya tanpa sengaja, ketika ia tersesat saat orientasi di tahun pertamanya.
“Bulan,” sayup-sayup suara bariton menghentikan langkah Gian. Sejenak ia terdiam, dan—persetan kata Dirga—menoleh ke belakang.
Jika tadi hanya punggungnya yang nampak, kini pria tak bernama itu tengah menengadah ke langit, menumpukan kedua tangannya pada pagar setinggi dada di depannya. Hanya separuh wajahnya yang kelihatan, namun Gian tak meragukan tampan parasnya. Batang hidungnya yang tinggi menarik perhatian Gian, membuatnya menahan napas, terpaku di tempat.
Rasa penasaran menggiring Gian selangkah lebih dekat. Meski dari balik tembok, suara lelaki itu terdengar jelas lantaran sunyinya malam, berpadu dengan derik suara jangkrik. Rambut hitamnya yang terpapar sinar bulan membuatnya terlihat seolah bercahaya, tidak nyata, dan mata Gian spontan menuju ke selatan.
Napak, batinnya lega. Dirga sialan.
Sesaat Gian mengira ada sosok lain di sana. Terdengar celotehan yang diselingi kekehan pelan seolah tengah terjadi suatu percakapan. Gian menjulurkan kepalanya, matanya memindai dari ujung ke ujung namun tidak menemukan siapa-siapa selain lelaki itu.
“Hari ini aku ga ngeliat ke bawah lagi,” ujar laki-laki itu pelan. Seulas senyum menghiasi bibirnya. “Tujuh puluh dua.”
Gian tidak mengerti arti ucapan itu. Namun seketika itu juga ia menyadari bahwa sang empunya suara sedang berbincang dengan yang di atas sana, dengan rembulan yang juga menatap ke arahnya.
Sekonyong-konyong Gian merasa dirinya tidak seharusnya berada di sana. Kalimat tersebut bukanlah dimaksudkan untuknya. Ia tidak bermaksud menguping, hanya saja suara itu begitu merdu, dan wajah itu begitu memikat hingga ia tidak dapat berpikir jernih.
Pada akhirnya, getaran ponsel di sakunyalah yang menyadarkan Gian, memaksanya mengalihkan pandang. Firasatnya mengatakan pukul 7.30 sudah dekat, sehingga pengurus himpunan lainnya tengah mencari keberadaannya agar dapat segera memulai kembali rapat mereka. Dengan perlahan ia berbalik menuju tangga, sebisa mungkin tidak menimbulkan bunyi yang kentara.
Dari kejauhan, Gian mendengar suara itu lagi, bergema di lorong tangga, hanya saja kali ini dalam lantunan lagu yang tak asing di telinga. Sontak langkahnya terhenti.
Moon river, wider than a mile I'm crossing you in style some day Oh, dream maker, you heart breaker Wherever you're goin', I'm goin' your way
Dan ponsel Gian bergetar lagi.