Denting piano tak berhenti mengalun, bahkan setelah suara merdu Arsa tak lagi mengalir. Diperhatikan olehnya jemari yang tengah menari, tangan besar dan kokoh yang dengan lembut merajut nada hingga menjadi melodi. Mata sang pianis setengah terpejam, bagai tersihir oleh permainannya sendiri. Arsa pun ikut terhanyut, kepalanya mengayun seiring irama. Jelas-jelas Gian sedang merendah saat ia bilang hanya bisa bermain sedikit.

“Ini lagu apa, Gi?” tanya Arsa.

Jemari Gian mematung. Alunan musik pun seketika berhenti. “Ga tau,” ujarnya sembari terkekeh kecil. Arsa menatapnya dengan heran.

“Lo bisa mainnya, tapi ga tau lagunya?”

Gian mengedikkan bahu. “Refleks aja.”

Perlahan, sorot mata Arsa berubah. “Jangan-jangan... itu lagu buatan lo sendiri??”

Lagi-lagi Gian tertawa, menggelengkan kepalanya. “Engga lah. I must have heard it somewhere terus kebayang-bayang sampe sekarang. Gue ga sejago itu, gila.”

Arsa cemberut, seolah tak puas dengan jawaban sang pianis.

“Kok lo kayak ga percaya gitu sih sama gue?” goda Gian.

“Ya kemaren aja lo bilangnya cuma bisa maen yī diǎndiǎn, eh ternyata jago banget, kayak udah latihan belasan tahun. Mana tau lo boong lagi,” tuduh Arsa.

Alih-alih membela diri, Gian mengalihkan pandangannya kembali ke tuts piano, raut mukanya seketika memuram.

“Sa,” ucapnya lirih, “lo pernah jatuh cinta?”

Kedua alis Arsa bertaut, bingung. Tiba-tiba banget? Dengan mudahnya ia menjawab, “Engga.”

Gian tersenyum masam. “Gue pernah.”

Arsa tertegun, tak tahu harus berkata apa. Semenit yang lalu mereka masih baik-baik saja, mengobrol diselingi tawa. Entah apa yang terlintas di benak Gian. Arsa tak berani bertanya.

“Ini...” Tangan Gian merambahi pinggiran kayu cokelat yang terpoles sempurna, berdiri kokoh di ujung ruangan kecil itu. Ujung bibirnya berkedut, pandangannya nanar. Suaranya gemetar kala ia mengucap, “Ini cinta pertama gue.”

Hening. Menarik nafas pun rasanya sulit. Arsa membiarkan Gian memegang kendali.

“Dulu gue disuruh les piano,” ujar Gian tiba-tiba, memecah keheningan. “Biasa, middle-class Chinese thing.

Yah, Arsa tidak mungkin tahu rasanya.

The moment I laid my eyes on that brown piano, gue jatuh cinta. Suaranya merdu banget, sampe gue ngerajuk ke ortu gue minta beliin.”

“Terus, dikasih?”

Gian mengangguk. “Nyokap gue seneng gue jadi rajin latihan. Tiap pulang sekolah gue lari naik tangga, main piano sampe maghrib. Kadang malah suka dimarahin karena belom ganti baju,” akunya.

“Berarti lo beneran udah latihan belasan tahun, dong?”

Gian menggeleng pelan. “Ga lama setelah itu, gue disuruh udahan.”

Sontak Arsa bertanya, “Kenapa?”

It became an obsession,” terang Gian. “Dari yang latihan satu jam sehari jadi dua, dua jadi empat, empat jadi delapan. Before I knew it, hidup gue cuma diisi main piano. Belajar engga, makan engga, tidur engga. Gue latihan sampe jari gue kaku-kaku. Berdarah, bahkan. Bokap gue marah. Pianonya dijual. End of story.”

Begitu banyak pertanyaan berkelebat di benak Arsa, namun tak satupun terucap. Siapa sangka di dasar air yang tenang tersimpan sebuah kenangan pahit? Baru kali ini ia mendengar jari berdarah karena piano. Gimana caranya?

Rasanya Arsa masih belum bisa percaya Gian baru saja bercerita luka masa kecilnya, membuka celah bagi pertemanan mereka. Hati Arsa melambung, terharu. Lidahnya menebal, mulutnya penuh dengan berbagai rasa yang ingin ia ungkapkan.

Gini toh, rasanya punya temen.

“Gi–”

“Lo laper ga Sa?” tukas Gian, tak menghiraukan panggilan Arsa. Senyumnya telah kembali, meskipun terasa lebih berat dari biasanya. Dengan segera ia berdiri, menyelempangkan tasnya di bahu. “Makan, yuk. Gue lagi BM kwetiau, nih.”