“Eh?” Ezra menatap temannya dengan heran, menelan kerupuk yang baru saja dikunyahnya dengan segera. “Udah mau balik lo? Katanya mau pesen bungkus?”
Raihan yang tiba-tiba beranjak dari kursinya merogoh dompetnya, meletakkan selembar uang dua puluh ribuan di atas meja. “Iya nih, ga jadi. Udah harus jemput Arsa,” senyumnya tipis.
“Sekarang banget?”
“Ho oh, very now.,” ujar Raihan. “Titip ya. Kembaliannya simpen aja.”
“Babi,” celetuk Ezra sambil terkekeh. “Buat parkir juga kaga cukup.”
Raihan tidak menghiraukan candaan temannya. Dengan kecepatan penuh, ia membawa motornya menembus gelapnya malam. Deru angin dan adrenalin saling berpacu di telinganya, mendorongnya untuk melaju semakin kencang. Beruntung jam pulang kerja sudah berlalu, hanya sisa segelintir kendaraan yang masih melintasi jalan yang biasa ia lewati.
Begitu memasuki pasar, Raihan membuka kembali peta yang dikirimkan adiknya. Motor kesayangannya ia parkirkan di depan sebuah ruko kosong, tak terlalu jauh dari titik yang harus ia tuju. Dari kejauhan, nampak sang adik sedang tertawa di bawah naungan terpal merah.
Melihat hal itu, segenap amarah di dada Raihan mendadak padam, kegusarannya lenyap entah ke mana. Sudah begitu lama ia tidak melihat Arsa tertawa lepas. Sejenak, Raihan lupa alasan ia datang kemari.
Namun kemudian matanya menangkap sosok lelaki yang duduk di hadapan Arsa, dan amarahnya bangkit kembali. Dengan langkah pasti ia mendekati meja dua orang tersebut dan menepuk pundak adiknya dari belakang.
“Sa,” panggil Raihan pelan. “Ayo pulang.”
Sengaja ia tidak menggubris keberadaan pria di ujung lain meja, namun Raihan dapat merasakan sorot matanya yang tajam, menatapnya dengan was-was. Yah, jelas saja. Mungkin di benaknya, Raihan hanyalah orang asing yang patut dicurigai.
“Loh, mas?” Arsa menoleh, meletakkan kembali gelas teh yang tengah di minumnya. “Ngapain jemput, to? Kan aku udah bilang nanti temenku yang anter.”
Menyadari identitas Raihan, pandangannya melembut. Gian kalau tidak salah namanya. (Tidak mungkin salah. Bukan sekali dua kali ini Raihan mendengar namanya.)
“Jangan. Ngerepotin orang,” ujar Raihan. “Lagian udah malem. Mau balik jam berapa?”
Dengan cemberut, Arsa menurut. Ia berdiri sembari meminta maaf pada Gian karena harus pulang lebih dulu. Gian hanya tersenyum. “Gapapa, Sa. Thanks ya, udah nemenin gue makan.”
Arsa melambaikan tangannya sembari berjalan keluar dari tenda menuju motor sang kakak. Raihan mengekor, namun matanya masih mencuri pandang ke arah lelaki berambut pirang di sampingnya.
“Sorry ya, bro,” ucap Gian, menahan langkah Raihan. “Gue kira Arsa emang biasa pulang agak malem. Ini juga sebenernya udah mau balik, kok. Tinggal ngabisin minum aja.”
“Maksud lo adek gue anak ga bener?”
Gian mengerinyit, air mukanya sontak berubah. “Hah?”
Raihan tahu dirinya bersikap konyol, jauh dari kata rasional. Hanya saja lelaki di hadapannya membuatnya kesal hanya dengan perawakannya. Kedua kepal Raihan menegang di kedua sisi badannya, siap melayang kapan saja dibutuhkan. Beruntung reputasinya di kampus menahannya dari adegan baku hantam di depan umum.
“Sehat lo?” ucap Gian ketika Raihan tidak memberi penjelasan. “Perasaan gue cuma ngajak Arsa makan, bukan nyabu. Dan ini belom ada jam sembilan, btw. Kenapa lo nangkepnya gitu amat?”
“Jadi lo nyabu?”
“Ngomong apa sih anjing?” umpat Gian, setengah tertawa. “Jangan-jangan lo yang abis nyimeng, ngomong lo ngawur gitu.”
“Sembarangan,” desis Raihan.
“Nah, itu lo tau,” ujar Gian enteng, meneguk es tehnya yang tinggal setengah. “Orang ngomong apa kok lo nangkepnya apa. Suudzon aja. Udah sana, adek lo dah nungguin, tuh.”
“Awas ya lo-”
“Mas,” seru sang adik dari jauh, memotong kalimat Raihan dan ketegangan di antara mereka. Raihan menoleh, mendapati adiknya sudah berdiri manis di samping motor dengan helm terpasang. “Yuk, pulang. Nanti kemaleman.”
Gian tersenyum puas, menatap Raihan seolah mengejek. Mungkin. Mungkin saja hanya perasaan Raihan. “Gih, sana,” ujar Gian. “Gue maafin kali ini aja.”